Wednesday, November 15, 2006

Di atas Langit Ketujuh


Hampir setiap hari, dapat dipastikan aku [akan] mendengar/melihat kata "bodoh", entah itu disengaja ataupun tidak disengaja, entah itu terucap dari bibirku sendiri ataupun orang lain *ini yang aku sebut dengan tak sengaja*.

entah itu ditujukan olehku kepada diriku,
entah olehku teruntuk orang lain[nya]
entah darinya teruntuk aku
ataupun darinya yang ditujukan pada entah siapa
itulah sebabnya, hampir dapat dipastikan juga, tiap orang pasti pernah menerima bingkisan kata "bodoh"... ya karna skenario entah-entah di atas.

Oya, ada yg tertinggal, kadang aku pun menggunakan skenario
entah itu olehku teruntuknya

*semoga ndak bingung* :)

Sebagai dasar dari kata "kebodohan*, kali ini aku sedang tidak bermaksud menggunakan salah satu dari skenario di atas.... tenang ajah :)

Selama hidup, baru pagi ini aku dapati gambaran makna yang sesungguhnya dari "kebodohan". Aku belum pernah mendapati gambaran sedetil dan sejelas Andrea Hirata memaparkan di Laskar Pelangi-nya. Tepatnya di di bab II, halaman 103-105 yang berjudul Langit Ketujuh.

Dengarkan, biar aku membacakannya untukmu ....
"
Kebodohan berbentuk seperti asap, uap air, kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berangkatlah dari tempat dimana saja di planet biru ini dengan menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan pernah sekalipun berhenti.
Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju strafosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing. Meluncurlah terus sampai ketinggian dimana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat. Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer --lapisan paling luar atmosfer dengan bentangan selebar 1.200 km, dan teruslah melaju menaklukkan langit ketujuh.

Kita dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai gambaran imajiner tempat tertinggi dari yang paling tinggi. Di tempat asing itu, tempat yang tak'kan pernah memiliki nama, di atas langit ketujuh, disitulah kebodohan bersemayam. Rupanya seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan. Maka apabila kita tanyakan sesuatu kepada orang-orang bodoh, mereka akan menjawab dengan merancau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam alasan, atau membelokkan pertanyaan. Sebagian yang lain diam terpaku, mulutnya ternganga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di atas kepala mereka.

Kita tidak perlu menempuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena seluruh lapisan langit dan gugusan planet itu sesungguhnya terkonstelasi di dalam kepala kita sendiri. Apa yang ada pada pikiran kita, dalam gumpalan otak seukuran genggam, dapat menjangkau ruang seluas jagat raya. Para pemimpi seperti Nicolaus Copernicus, Battista Della Porta, dan Lippershey malah men-ciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan sistem tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seorang pemimpi, menuliskan ilmu dalam puisi-puisi.....
"


Demikianlah, maka ....
bumi hanguskanlah kebodohan, dan percayalah akan kedasyatan otak kita.

2 comments:

rymnz said...

maka bisa pergi sebelum beranjak
bicara sebelum terucap
karena tak ada lagi batas ruang dan waktu disituh. semuanya bisa terjadi seketika dlm otak kita.

Anonymous said...

update dunk update!!!!..